Jenis Masker yang Disarankan Dokter Paru kala Kualitas Udara Buruk

TEMPO.CO, Jakarta – Orang perlu memakai masker kala kualitas udara sangat buruk seperti belakangan ini. Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Dr dr Agus Dwi Susanto, Sp. P(K), mengatakan masker bedah masih bisa dipakai saat kualitas udara berada pada kategori tak sehat atau masuk zona kuning.

“Tetapi kalau sudah oranye, merah, misalnya, kalau bisa lebih tinggi maskernya (tingkat penyaring) karena lebih pekat kadar PM 2.5-nya,” katanya.

Bila merujuk pada indeks standar pencemar udara (ISPU), kategori kualitas udara tak sehat memiliki rentang nilai 1-50. Sementara bila tak mengandalkan alat melainkan pandangan mata, kualitas udara di lokasi dikatakan tidak sehat jika jarak pandang hanya sejauh 2,5 km.

Kualitas udara di suatu kawasan bisa dikatakan sangat tidak sehat bila jarak pandang hanya sekitar 1,5-2,4 km. Menurutnya, idealnya saat menghadapi polusi udara orang perlu memakai masker dengan kemampuan filtrasi atau penyaring particulate matter (PM) 2.5, yakni indikator dalam polusi udara, seperti N95, KN95, KF94. Hanya saja, masker jenis ini tidak diizinkan pada populasi sensitif seperti wanita hamil, anak-anak, lansia, dan penderita penyakit tertentu karena membuat lebih pengap akibat masker sangat ketat.

“Oleh karena itu, pada kelompok sensitif disarankan masker lain yang bisa memfiltrasi PM 2.5. Kalau tidak ada itu minimal pakai masker bedah biasa karena bisa memfiltrasi PM 2.5 sekitar 50 persen,” saran Agus.

Minimal masker bedah
Dia menambahkan orang tetap harus memakai minimal masker bedah saat berada di luar ruangan atau sebisa mungkin mengenakan masker yang lebih tinggi level filtrasinya, terutama saat polutan berada pada level lebih tinggi. Hal senada diungkapkan pakar imunologi dari Universitas Indonesia, Prof Dr dr Bambang Supriyanto, SpA (K). Menurutnya, memakai masker bisa menjadi solusi mengurangi dampak buruk polusi udara pada kesehatan.

Iklan

Selain masker, dia juga menyarankan tidak merokok, menghindari bepergian ke daerah polusi udara tinggi, banyak minum air, tidak membakar sampah, tidak melakukan aktivitas fisik berlebihan, dan makan makanan sehat bergizi seimbang.

Berbicara dampak polusi, Bambang menyebut antara lain infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atas karena merusak mukosa saluran napas sehingga memudahkan virus dan bakteri masuk, ISPA bawah atau pneumonia, TBC, asma, dan pada jangka panjang bisa menurunkan fungsi paru.

“Untuk jangka panjang, fungsi paru bisa menurun sehingga tidak bisa maksimal menghirup oksigen, siap-siap penyakit kronis bisa timbul. Pada anak yang asma menjadi lebih berat. Pada bayi akan kurus atau kecil berat lahir, bisa prematur,” ujarnya.

Pilihan Editor:



Quoted From Many Source

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *